Thursday 12 February 2015

Meningkatkan Minat Baca ala Sekolah Australia

Budaya membaca menjadi salah satu sebab negara seperti Jepang, Amerika atau Australia menghasilkan berbagai inovasi. Berikut pengalaman Pratiwi Retnaningdyah, seorang mahasiswa PhD di University of Melbourne, mengenai pembentukan kebiasaan membaca itu dikembangkan di sekolah di Australia.

Saat ini saya sedang menempuh studi di University of Melbourne tentang literasi, dan juga karena keingintahuan saya tentang bagaimana program literasi berjalan di tingkat pendidikan dasar, akhirnya saya berupaya mencatat setiap detil agenda sekolah anak-anak saya dan membagikan kisah lewat tulisan ini.


Adzra, anak saya yang kecil yang belajar di tingkat Prep (persiapan sekolah dasar), selalu membawa pulang satu buah buku di dalam tas sekolahnya untuk bacaan di rumah. Itu merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi setiap anak.

Sementara PR bagi orang tua ialah membimbing anak membaca buku yang dibawa dari sekolah itu. Di luar buku yang dipilihkan gurunya untuk PR membaca, sekolah juga ingin mengajak orang tua dan anak mencatat kebiasaan membaca buku yang tersedia di rumah, entah itu buku cerita, pengetahuan, dan lain-lain.

Anggap saja paling gampangnya, bagaimana kebiasaan bedtime story reading (membaca buku bersama anak menjelang mereka tidur) masing-masing keluarga. Untuk itu, sekolah menyediakan buku catatan Home Reading. Untuk yang ini, tak ada aturan khusus, tergantung kepada setiap orang tua. Tidak diberi nilai meski guru akan memberikan komentar secara berkala setiap bulan.
Pratiwi menemani putrinya Adzra membaca di sebuah perpustakaan di Melbourne.. (koleksi pribadi)

Sejak hari pertama, setiap malam atau pagi sebelum sekolah, saya isi kolom kecil di buku itu dengan judul buku, komentar saya dan Adzra tentang isi buku, dan apresiasi Adzra tentang buku itu dalam bentuk smiley.

Saya anggap ini sebagai sarana mengamati diri sendiri, apakah saya sisihkan waktu untuk bercerita tiap hari, merekam resepsi Adzra, bagaimana proses interaksi kami, apakah saya yang selalu bercerita, ataukah Adzra ikut ambil peran membaca ceritanya melalui gambar.

Dalam waktu dua minggu pertama, melihat lengkapnya kolom harian saya isi, rasanya seperti pencapaian luar biasa bagi saya. Ternyata dalam waktu 14 hari saja, sudah 14 cerita berbeda yang kami baca. Sebagian sudah pernah dibaca Adzra sehingga dialah yang gantian bercerita.

Rasanya jadi saying ketika lagi ngantuk dan maunya langsung tidur, eh ... ternyata Adzra yang malah mengingatkan. 'It's reading time. Waktunya membaca, Mommy."

Setelah hampir satu bulan, tiba-tiba saya mulai hampir kehabisan stok. Buku cerita di rumah sudah terbaca semua. Adzra sendiri yang memilih mau membaca yang mana. Ketika saya pinjam beberapa buku cerita dari perpustakaan kampus, dia malah minta dibacakan semuanya dalam satu malam.

Saya garuk -garuk kepala. Ini tidak lagi urusan tertib mengisi buku Home Reading. Saya sudah harus beli buku lagi untuk mengisi rak buku Adzra. Dia malah sudah punya sense of belonging.

“Ini perpustakaan Adzra, yang itu perpustakaan Mommy.”

Adakah ini berpengaruh pada kepercayaan diri anak? Begitulah yang saya lihat. Pas hari terakhir sekolah, kebetulan orang tua diundang datang mengamati proses belajar-mengajar di kelas.

Kami berdiri di sekitar ruangan kelas atau duduk di bangku, sementara anak-anak duduk lesehan di karpet. Ketiga guru di kelas Prep tetap berinteraksi seperti biasa, tanpa merasa 'diawasi' oleh siapa pun. Menjelang liburan sekolah ini, Kerry, salah satu gurunya, berpesan kepada anak-anak.

"Ingat-ingat ya, selama liburan sekolah, kalian harus banyak membaca, membaca, dan membaca. Siapakah yang setiap hari membaca buku bersama ibu atau ayah?”

Adzra dengan pede-nya mengangkat tangannya.

Apa semua orang tua mau melakukannya? Semuanya memang terpulang pada tingkat perhatian masing-masing. Hal-hal yang wajib saja seperti membaca buku dari sekolah belum tentu dijalankan, apalagi anjuran home reading. Dari mana saya tahu?

Ternyata beberapa orang tua ada yang tidak pernah melongok isi tas sekolah anaknya. Ada yang malah baru tahu ketika saya iseng bertanya.

Adzra dengan salah satu piagam yang didapatnya dari sekolah karena banyak membaca.(koleksi pribadi)
Di sisi lain, saya mengenal teman-teman Indonesia yang sangat tinggi perhatiannya terhadap program ini. Ada yang rutin mengajak anaknya ke Perpustakaan Kota untuk membaca dan memborong buku pinjaman.

Ada yang teratur melakukan pencatatan, sampai akhirnya bisa mencapai 500 buku yang telah dibaca anaknya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun di sini. Teman-teman seperti ini bisa dipastikan punya koleksi buku cerita yang bejibun di apartemen masing-masing.

Untuk sebagian yang masih belum terbiasa dengan program bedtime story, saya kurang tahu mengapa.

Mungkin karena ortunya sibuk dengan urusan studi masing-masing atau alasan lain. Akan tetapi saya maklum juga, karena anak Prep memang gak ada pelajaran apa-apa kecuali literasi dan numerasi.

Maksudnya, tidak ada buku pelajaran apa pun yang harus dibeli. Setiap pagi, tugas orang tua hanyalah memasukkan bekal makan siang di dalam tas anak. Urusan tulis-menulis dan menggambar atau apa pun sudah ada di sekolah. Bisa dibayangkan, kalau ortunya tidak terlalu ngeh dengan kebiasaan membaca, malah bisa ongkang-ongkang membiarkan anak bermain di rumah.

Pada akhirnya, semua kembali kepada orang tua dan keseriusan sekolah dalam membangkitkan minat baca siswa dengan cara yang menarik dan menyenangkan, sehingga membaca tidak menjadi beban bagi para siswa.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Pratiwi Retnaningdyah, Kandidat PhD di Bidang Cultural Studies, University of Melbourne dan tergabung dalam komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).

Sumber: http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-02-09/meningkatkan-minat-baca-ala-sekolah-australia/1408053

No comments:

Post a Comment