Saturday, 14 February 2015

Kisah ibu di perbatasan Timor Leste kuliah rajut mimpi jadi guru pustawakan

Maria dengan rumahnya yang baru. ©2015 Merdeka.com

Merdeka.com - Kabupaten Belu, NTT sudah bertahun-tahun menjadi kabupaten 'produsen' TKI ke Malaysia. Daerah yang berbatasan dengan Timor Leste ini, nyatanya menyimpan sejumput cerita haru perjuangan TKI yang tersimpan di antara bukit dan lembah Belu nan hijau.

Cerita itu datang dari Maria Fatimah Buimao (45), warga dusun Bosok Pelolok desa Birun kecamatan Lamaknen kabupaten Belu NTT. Maria sudah lama menggantungkan hidupnya dari pendapatan sang suami sebagai TKI di Malaysia.

"Bapak sudah dua kali ke Malaysia pertama 2004 satu tahun lalu pulang karena rumah kebakaran dan tahun 2011 sampai 2014 pulang," tandas Maria saat berkumpul dengan paralegal dan parafinance yayasan Tifa di kabupaten Belu, NTT, Jumat (13/2).


Sejak awal, Maria sudah mewanti-wanti suaminya, Benyamin, untuk bekerja keras dan berhemat demi membangun rumah dan biaya sekolah dua anak mereka yang sekarang sudah duduk di bangku SMA dan SD.

"Bapak di sana panen sawit. Pernah dia kena sabit kena itu jari jahit 8 kali," ungkap dia.

Setelah sudah merasa cukup untuk pendidikan anak dan membangun rumah, Maria yang lama mengidamkan bangku kuliah mengutarakan keinginannya kepada suami.

"Saya merasa pendidikan saya masih kurang, saya mau mendalami lagi. Sementara bangun rumah, saya bersekolah lagi saya kuliah, saya akan keluar tinggal tunggu wisuda," ucap dia dengan mata berkaca-kaca.

Umur Maria tidak lagi muda, apalagi dia harus mengurus kedua anaknya. Namun mimpi Maria menjadi guru dan mencerdaskan anak-anak di dusunnya sudah amat lama. Menurut Maria, tak ada cara lain selain dia harus meningkatkan kualitas diri melalui kuliah.

Kini dia menempuh pendidikan D2 di Universitas terbuka Atambua dengan jurusan ilmu perpustakaan. Uang yang dibayarkan tergolong besar, yaitu Rp 1.750.000 per semester.

"Karena sekolah membutuhkan guru perpustakaan di sekolah," pungkas dia.

Kini dia tengah disibukkan dengan beragam aktivitas, seperti mengajar berhitung anak-anak SD di rumahnya. Dia pun sedang berjuang agar penduduk di desanya sadar akan pentingnya menjadi TKI legal seperti suaminya dengan menjadi paralegal yayasan Tifa.

"Yang non-prosedural itu dikejar-kejar karena enggak pakai paspor sampai lari di hutan, tidur juga tidak nyaman," pesan dia.

Meski merasakan manisnya hasil suami menjadi TKI, dia tidak tetap tidak mau jika anak-anaknya terburu-buru menjadi pahlawan devisa. "Tidak mereka harus kuliah dulu" jawabnya singkat.

Maria adalah satu dari paralegal yang bergerak melalui CBO (Community Based Organization) di bawah arahan yayasan Tifa dan pendanaan dari Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Bersama parafinance, Maria mencoba mewujudkan perbaikan ekonomi masyarakat dan mengampanyekan migrasi sehat.

Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-ibu-di-perbatasan-timor-leste-kuliah-rajut-mimpi-jadi-guru.html

No comments:

Post a Comment